arsyabi

Tuesday, March 27, 2012

Sekolah yang Mendidik


Oleh Mohammad Fauzil Adhim 
Mengajarkan kepada anak untuk berpikir, bersikap dan berperilaku baik tidak cukup untuk melahirkan anak-anak yang baik. Apalagi sekadar membiasakan anak dengan kebaikan, tidak cukup untuk menjadikan sebuah sekolah dianggap sebagai sekolah yang baik.
Ada hal lain yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Ada budaya sekolah, iklim kelas yang mendukung anak untuk senantiasa berpikir, bersikap dan berperilaku baik, guru-guru yang memiliki perhatian total serta kecintaan terhadap tugas mendidik, dan orangtua yang memiliki kepercayaan tinggi (trust) terhadap sekolah.
Khususnya poin terakhir, ini menuntut sekolah untuk mampu menjadi lembaga yang memiliki tingkat kelayakan untuk dipercaya yang sangat kuat. Tanpa itu, tidak bisa membangun kepercayaan dari orangtua meskipun sekolah sudah berkali-kali menyelenggarakan acara untuk meningkatkan reputasi sekolah di mata orangtua.
Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.
Sekolah merasa senang terhadap niat baik orangtua meskipun boleh jadi apa yang disampaikan orangtua tidak tepat. Sekolah merasa senang karena melihat iktikad baik orangtua, sehingga sekolah tidak sibuk membela diri.
Sesungguhnya lembaga yang memiliki integritas sangat tinggi lebih mencintai kebaikan –termasuk di dalamnya niat baik orangtua—sekaligus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya di sekolah. Ia lebih suka untuk menambah kesempatan berbenah. Sebaliknya, sekolah yang kehilangan visi akan sibuk membangun reputasi. Caranya dengan menciptakan prestasi, pengakuan dan rekam jejak yang positif.
Di luar itu, ada sekolah-sekolah yang buruk, meskipun di luar tampak sangat baik. Sekolah jenis ini bukan membangun reputasi, tetapi melakukan pencitraan melalui prestasi yang tampaknya memukau. Padahal prestasi tersebut bukan merupakan hasil jerih-payah sekolah, atau prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas inti sekolah, yakni pendidikan. Bukan tidak boleh berprestasi dalam bidang olahraga dan seni. Tetapi tanpa prestasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok sekolah, berbagai gelar tersebut tak ada nilainya.
Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?
Pertama, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan wakil-wakilnya (prinsipalship) beserta lembaga yang mengelola. Kedua, totalitas mendidik dari para pengajar. Ini tampak dari tinggi rendahnya passion (kegairahan mengajar yang sangat tinggi) dari para guru yang meliputi kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, kecintaan yang sangat besar terhadap anak didik, obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para siswanya menjadi manusia ideal dan terikat secara emosi dengan cita-cita tersebut, memiliki kesediaan meluangkan waktu untuk memperhatikan para siswanya dan sekaligus memiliki kemauan belajar dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan maupun kualitasnya sebagai guru.
Sesungguhnya, unsur yang ada pada passion antara lain mencakup obsesi, antusiasme dan ikatan emosi yang kuat sehingga bersemangat (zeal) dengan apa yang digeluti. Jika tiga hal tersebut tidak ada, hampir pasti guru tidak memiliki kegairahan (passion) sebagai pendidik.
Tetapi, tanpa kesediaan untuk belajar, guru akan jumud atau bahkan frustasi meskipun ia memiliki obsesi, entusiasme dan semangat yang menyala-nyala (zeal) disebabkan adanya ikatan emosi yang kuat.
Masalahnya adalah, guru-guru semacam itu sulit sekali kita peroleh melalui proses rekrutmen terbuka. Yang paling memungkinkan adalah melalui proses pencarian dan pendekatan kepada orang-orang yang memenuhi kriteria agar mereka bersedia menjadi guru. Masing-masing membawa konsekuensi bagi sekolah.
Nah.
Kemitraan Sekolah dan Orangtua
Sekolah yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia. Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut, sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip yang ditegakkan oleh lembaga.
Sekolah yang mudah ikut arus, menuruti kemauan “pasar” dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga yang missi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.
Ini bukan berarti sekolah mengabaikan peran orangtua. Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran, pembiasaan dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Tetapi sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan orangtua.
Disamping itu, sekolah juga harus menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua –termasuk guru—secara alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara pandang sama. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’in merupakan Sahabat utama yang penuh kemuliaan, dan khalifah yang mendapat petunjuk (khulafaur rasyidin). Tetapi mereka masing-masing memiliki kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.
Itu Sahabat utama radhiyallahu ‘anhum. Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini. Maka, bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah. Jenjang pendidikan berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat dan latar belakang sekolah sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah punya anak.
Orangtua tidak memiliki persiapan khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang memang sedari awal –seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para murid, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di rumah.
Lalu apa harus sama antara sekolah dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Ini merupakan tugas sekolah untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar bersama-sama anak menghormati, memuliakan dan merasa bangga dengan nilai-nilai itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai tersebut dimana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka bangga. 

No comments: